Sunday, November 8, 2015

Membuat Bola Sabun dan Coklat


Bismillahirrahmanirrahiim…

Tadinyaaa… hari ini saya ingin memulai aktivitas-aktivitas belajar yang menyenangkan bersama Abang. Sebelumnya sih sudah nyontek dan bookmark ide di mana-mana. Tapi realisasinya nggak ada. Tetapi oh tetapi… sepertinya saya sudah nggak kuat begadang. Tidur jam dua malam dan bangun dengan keadaan luar biasa ngantuk. Setelah itu bangun-tidur-bangun-tidur sampai jam 11. Bener-bener nggak enak banget rasanya… dan akhirnya rencana awal harus sedikit berubah.

Sebelumnya saya cerita sedikit… Kita mungkin sama-sama tahu bahwa jam menonton TV wajib banget buat dibatasi. Tapi sesampainya di Adelaide saya agak terlena. Selain karena acara anak-anaknya bagus-bagus dan cukup aman, kartun-kartun ini juga amat membantu Ihya untuk menambah kosakata dalam bahasa Inggris. Tapi lama-lama menjadi kecanduan. Gejalanya adalah Ihya susah sekali dialihkan kalau sedang menonton TV. Sering tidak mendengar dan mata tetap tertuju ke televisi saat dipanggil.

Saat kesulitan mencari remote untuk menyalakan TV pun rasanya bikin dia frustasi. Saya dan Syami berpikir ini hanya masalah kurangnya kegiatan pengisi. Tapi ternyata nggak juga, dan saya mengetahuinya hari ini. Walaupun sudah coba dialihkan dengan kegiatan lain tetapi masih teringat terus dengan acara TV.

Sekarang ya tugas saya adalah membuatnya sibuk sedemikian rupa agar teralihkan dari TV. Saya dan Syami sepakat untuk tidak menambah aturan baru terkait TV, agar Ihya tidak tertekan dengan banyaknya peraturan dan larangan.

Kembali lagi, rencana aggak berubah karena saya bangun kesiangan. Tapi, bagaimanapun harus tetap dimulai. Biarlah rumah berantakan karena belum disentuh sapu sama sekali. Ide pun spontan saja tidak mengikuti perencanaan saya sebelumnya.

Kegiatan pertama, membuat bola sabun. Resepnya lihat di buku Boredom Busters:
  • Cairan pencuci piring ½ cup
  • Air 1 ½ cup
  • Gula pasir 2 sdt
Saya hanya pakai setengah resep dan itupun jadinya sudah cukup banget untuk main berdua. Niupnya pakai apa? Cari saja barang-barang di dapur yang memiliki lubang berbantuk bulat. Kalau saya pakai stensil untuk cupcake dan ujung spatula. Selain itu saya juga membelah botol plastik menjadi dua agar dapat ditiup dari salah satu ujungnya.



Yak, ternyata walaupun kegiatannya cukup menyenangkan tapi tidak bertahan lama, hanya sekitar setengah jam saja. Kamipun kembali ke dalam rumah.
Saya sambil putar otak “setelah ini mau ngapain lagi ya?”. Kebetulan ada sedikit coklat sisa membuat eclairs kemarin. Jadilah saya gunakan kembali stensil untuk membuat coklat aneka bentuk. Lumayaaan… bisa mengalihkan Ihya untuk beberapa saat. Ihya pun senang karena bisa colak colek coklat.




Tapi paling tidak sudah dimulai, dan mudah-mudahan esok hari lebih baik lagi :)


Monday, October 5, 2015

Victor Harbour & Urimbirra



Bismillahirrahmanirrahiim…

Ceritanya nih, laki-laki kecil di rumah sedang Spring Holiday selama dua minggu. Dan laki-laki besar juga sedang liburan sebelum mulai trimester berikutnya. Dan ini berarti saatnya kembali memberdayakan Getz untuk jalan-jalan!!

Dalam dua minggu ini kami sempat mengunjungi beberapa tempat. Dan semuanya berkesan buat saya. Bukan cuma soal tempatnya, tapi yang terpenting Ihya senang dan menikmati sesi jalan-jalannya. Jujur saja, salah satu momok saya dan Bunny kalau mengajak Ihya jalan-jalan adalah mood-nya yang tiba-tiba berubah. Entah karena masalah kecil, capek, atau sedang pingin mengerjakan kegiatan yang lain.

Destinasi pertama adalah Victor Harbour. Victor Harbour adalah kawasan wisata pantai dengan laut yang, Masya Allah, bagus banget!! Warnanya biru terang yang sepertinya efek dari langit Adelaide yang biru dan bersih. Dari bulan Mei – Oktober setiap tahun ada rombongan paus yang melintas untuk berkembang biak. Tapi tur Whale Watching-nya sendiri berharga 60 AUD per orang *mundur teratur*. Ada juga SA Whale Centre, tapi karena waktu yang terbatas kami hanya sempat mengunjungi dua tempat: Victor Harbor (termasuk Granite Island) dan Urimbirra Wildlife Park.

Urimbirra Wildlife Park

Tempat ini sebenarnya seperti kebun binatang mini dengan binatang khas Australia. Sebagian dilepas bebas dan sebagian lagi ada di dalam kandang. Berhubung akhirnya untuk pertama kali kami berinteraksi langsung dengan kanguru dan emu, jadilah super super semangat dan berasa asyik banget tempatnya. Sayangnya kami melewatkan sesi ramah tamah dengan koala. Tapi secara keseluruhan cukup menyenangkan. Selain itu ada juga berbagai jenis reptil.

Sayangnya di sini kami agak terburu-buru karena mau lanjut ke tempat selanjutnya yaitu Victor Harbour.
Untuk informasi lengkap bisa dilihat di sini: http://urimbirra.com.au/

Victor Harbor

Nah… sebagai penyuka pantai, sukak banget sama tempat yang satu ini. Secara keseluruhan saya suka banget pantai-pantai di Adelaide. Karena semuanya bersih, nggak terlalu ramai, dan GRATIS *penting banget*. Nah, khusus Victor Harbour, sukak banget banget!!

Pertama, ini memang kawasan wisata yang cukup besar. Ada banyak tempat makan dan biasa jadi pusat keramaian. Pas banget ada Rock and Roll Festival pas kami berkunjung ke sana. Jadi di depan ada laut biru di belakan ada lagu-lagu rock and roll dan mobil-mobil kuno yang masih cakep banget. Jadi ada baiknya sebelum berkunjung coba cek apakah ada event tertentu yang sedang berlangsung.

Kedua, pas banget dikunjungi seharian karena ada banyak tempat gelar tikar dan playground yang caem-caem.

Ketiga, ada museum entah apa namanya yang sayangnya nggak kami kunjungi karena waktu yang sudah mefffets. Ada Penguin Centre juga, tapi sayangnya sedang dalam perbaikan dan nggak menerima pengunjung. Dari jauh kami bisa melihat satu dua pinguin bergabung dengan burung-burung lainnya. Ada tur Whale Watching/Dolphin Cruises juga loh… Jadi bisa jadi sarana edukasi buat anak-anak. Tapi harganya lumayan bikin elus dada ya qaqa…

Keempat, ada Historic Horse Drawn Tram: tram bertingkat yang ditarik kuda. Tram ini melewati jembatan yang menghubungkan Victor Harbour dan Granite Island. Tramnya sendiri jalan satu jam sekali dengan tiket yang dijual sama supirnya *berasa naik Kopaja nggak sih?*. Harganya lumayan mahal sih… Family Pass berharga 19 AUD sekali jalan atau 25 AUD untuk bolak-balik. Tapi kalau menurut saya sih nggak papa lah mumpung ada di sini. Hehehe.

Kelima, Granite Island. Ini adalah sebuah pulau yang seperti namanya mengandung banyak sekali batu granit. Pasirnya pun tidak putih dan halus seperti pantai lainnya yang pernah saya kunjungi, tetapi coklat/hitam dengan butiran-butiran kasar. Jadi jangan berharap bikin sand castle di sini. Cuma tetap bisa main air kok J
Di Granite Island ini ada semacam jalan setapak mengelilingi pulau dan dari tempat tertingginya pastinya bisa melihat pemandangan yang indah banget. Saya sendiri nggak nyobain sih karena harus bawa stroller dan mempertimbangkan kekuatan bocah juga *alesssan, padahal mah ngos-ngosan*

Dengan jarak sekitar 79 km dari rumah, aku tak menyesaaal. Pinginlah balik lagi kapan-kapan kalau sudah menyambangi tempat-tempat yang lain. Perjalanan juga lancar dengan pemandangan yang indah sepanjang jalan.
Cerita pertama tentang Victor Harbour dulu yaaa… Insya Allah akan disambung cerita tentang tempat-tempat selanjutnya. Selamat menikmati foto-foto kamiii!!










Thursday, September 10, 2015

Setahun IRT

Bismillahirrahmanirrahiim…

Di sela PR-PR yang belum kelar, mari ah kita nge-blog… Tema yang akan tulis ini sebenarnya sudah direncanakan beberapa waktu yang lalu, tapi pinginnya dipasin dengan tanggal 6 September. Eh… tetep ya booo… nggak kunjung ditulis dan hiyaaa… baru ditulis sekarang.

Emang tentang apaan sih sampai harus dipas-pasin gitu?? 6 September tahun ini menandai satu tahun sudah saya tinggal di Adelaide. Tapi nggak mau ngebahas tentang Adelaidenya juga sih… Melainkan tentang pekerjaan baru yang saya jalani 1 tahun ini: Ibu Rumah Tangga (IRT).
Suatu hari suami saya nanya, “Kamu seneng nggak di rumah? (jadi IRT maksudnya)”. Saya jawab: “Seneng”. Udah… gitu aja. Hahaha.

Kenyataannya? Ya seneng laaah… Bertahun-tahun saya mengidamkan bisa mengurus anak-anak secara langsung. Kalau pernah baca posting saya yang ini, dulu saya memang masih dengan pilihan untuk menjadi Ibu Bekerja. Tapi semakin lama… anak semakin besar… dengan tantangan dunia yang semakin kompleks… duh… rasanya pingiiin banget secepatnya tinggal di rumah. Mau cerita dikit boleh ya… Harap dipahami, this decision made because it’s me, my life, and my family. Kalau orang lain bisa, mungkin saya aja yang kurang canggih jadi nggak sanggup kerja lagi.

Dulu saya berpikir bekerja bukan hanya soal cari uang (yang memang saat itu dibutuhkan), tapi juga mengamalkan ilmu. Terus terbayang lah itu pekerjaan-pekerjaan saya di kantor. Umm… kayaknya nggak juga deh. Sebagian iya sih… Tapi justru banyak hal saya pelajari sendiri dengan berguru kepada atasan dan rekan sekantor.

Terus saya berpikir juga bahwa bekerja adalah bagian dari tanggung jawab terhadap dan membahagiakan orangtua. Saya nggak pernah nanya sih orangtua saya lebih senang saya kerja atau nggak. Kadang Mamah menegaskan bahwa perempuan itu harus mandiri, punya uang sendiri. Tapi kadang beliau juga yang bilang “kasihan tuh Abang nggak sama Ibunya”. Tapi terlepas dari itu semua… Mau orangtua suka atau nggak suka, saya akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anak saya bukan atas orangtua saya. Kewajiban saya kepada orangtua adalah berbuat baik terhadap mereka, yang mana itu bisa luaaaaas banget.

***

Saya ingat betul, menjelang keberangkatan saya dan Ihya ke Adelaide, Ihya sedang dalam tahap sering tantrum parah-parahnya. Beberapa kali saya mengaum bagai singa saat marah saking frustasinya menghadapi Ihya. Beberapa kali saya dipukulnya. Nangis? Sering!! Terakhir bahkan saya butuh waktu berjam-jam sendiri setelah dipukul oleh Ihya. Ya Allah… sediiih banget rasanya… Saat itu benar-benar menjadi masa di mana saya mempertanyakan diri saya sendiri, “gue kerja buat apa sih?”. Saya berkeyakinan Ihya akan lebih baik di tangan saya langsung. Bukan ke-PD-an, tapi memang seharusnya begitu kan?

Beberapa minggu pertama di Adelaide saya kewalahan betul menghadapi Ihya. Hamil besar, anak tantrum di tempat umum, di tempat di mana Anda bisa dilaporkan ke polisi saat kasar sama anak. Tapi sejatinya, bukan cuma saya yang frustasi, Ihya mungkin lebih frustasi lagi. Aturan-aturan yang asing buat dia tiba-tiba diterapkan. Keinginannya yang biasa dengan mudah terpenuhi sekarang harus ditunda. Hal-hal yang biasanya dibantu orang lain sekarang mulai harus dilakukannya sendiri.

Namun, setelah beberapa minggu kami mulai melihat perubahan-perubahan positif. Berat memang buat Ihya, tapi karena kami punya cukup banyak waktu dengan Ihya, kami bisa terus memberikan penjelasan, dan terutama meyakinkan Ihya bahwa… Ibu tuh sayaaang banget sama kamu Nak, makanya Ibu dan Ayah melakukan ini semua.

Dan tak terasa bulan berganti sampai sekarang sudah setahun saya menjadi IRT. Biarpun senang, tetap lah ya… ada tantangannya. Yang pertama, capek. Banget. Hahaha. Kadang saya juga bingung kenapa bisa capek banget ya? Tapi mungkin ya kalau dibandingkan kerja di kantor aktivitas fisik di rumah jelas lebih banyak *nggak usah disebutin lah ya ngerjain apa…*. Ada juga temen yang nanya: “ngapain aja di rumah?” *langsung sensi*. Ya sudahlah… tak apa… dulu saya juga mikir kenapa sih Mamah kayaknya capek banget. Padahal kan enak bisa tidur siang *ampun Maaah…*. Pada kenyataannya saya juga hampir nggak pernah tidur siang tuh di rumah… Hahaha.

Yang kedua, rasa bosan. Kalau ini mah nggak usah diperpanjang karena saya memang tipe orang yang gampang bosan. Hehehe. Nggak usah di rumah, di kantor juga gitu kok. Kalau sudah bosan begini ya pinter-pinter nyari hiburan aja… Kalau buat saya yang hobi masak ini adalah saatnya bereksperimen dengan masakan baru, cari-cari resep, mantengin cara buatnya di Youtube, terus dibikin deh… Bisa juga dengan nonton film… atau sekedar jalan-jalan di sekitar rumah. Pada akhirnya memang tetap sambil digelendotin anak-anak sih… tapi nggak papa, sebentar lagi mereka juga gede. Hehe.

Yang ketiga, ujian sabar sampai ke ujung kepala. Hahaha. Misalnya niiih… tangan kiri gendong anak, tangan kanan megang masakan, terus anak yang satu lagi manggil-manggil ngajak main atau sekedar ngeliat hasil “prakaryanya”. Atau lagi nidurin anak yang sakit terus tiba-tiba anak yang satu lagi buka pintu sambil ngajak ngomong dengan suara yang keras, bangunlah anak satu lagi… dan terbayanglah pekerjaan yang lain tertunda. Dst… dst… Melayani anak kecil yang hampir nggak pernah diam buat saya cukup berat. Ia bisa nanya hal yang sama berkali-kali. Bisa menjelaskan sesuatu yang buat kita biasa aja dengan sangat antusias. Bisa lupa apa yang kita kasih tau hanya sekitar dua menit setelahnya.

Yang keempat, dalam waktu yang cukup lama setelah tinggal di rumah saya masih menganggap ini adalah sebuah “libur panjang”. Selain itu, saat di kantor waktu kerja saya ya jelas, membagi waktunya juga jelas, berbeda dengan di rumah di mana kitalah yang menentukan semuanya. Nggak lama kemudian saya melahirkan anak kedua dan harus beradaptasi dengan jadwal dedek yang masih berubah-ubah per beberapa minggu. Rasanya kok rumah nggak beres-beres ya? Alhamdulillah sih sekarang mulai ketemu ritmenya. Saya kasih bocoran sedikit ya, buat saya yang terpenting itu bukan rumah rapih, tetapi rumah diberesin. Hehe. Jadi kerjakanlah apa yang harus dikerjakan… jangan khawatir kembali berantakan. Bisa tunggu sampai besok kok ;)

Yang kelima, gimana ya tetap bermanfaat dari rumah? Kuncinya sih menurut saya di manajemen waktu dan jangan terlarut dengan keinginan untuk membuat  rumah rapih cemerlang. Hahaha. Ya… saya juga masih berjuang dengan yang satu ini kok. Saya coba mengisi waktu dengan kembali ngeblog, ngaji, masak buat acara pengajian, ngajarin ini itu ke anak, ngajak mereka ke luar sambil bergerak bebas. Buat saya mah itu bermanfaat juga. Justru harusnya anaklah prioritas kan? Setelah urusan rumah dan anak-anak bisa tertangani dengan baik perlahan-lahan tenaganya dibagi dengan masyarakat. Iya… saya tahu, beberapa orang udah melakukan itu dari dulu. Tapi buat saya yang terpenting skala prioritas dan kenali kemampuan diri sendiri. Salah satu sifat jelek saya adalah pingin mengerjakan semuanya. Pinginnya tuh membuktikan bahwa gue bisa ini dan itu. Membuktikan bahwa saya nggak lemah dan bisa mengerjakan apapun. Kenyataannya? Nggak mungkin. Sedikit tapi beres buat saya jauh lebih baik.

Yang keenam, dan paling bikin galau adalaaah… tak berpenghasilan. Dududu. Nggak ada yang salah loh dengan menjadi IRT dan nggak berpenghasilan… Awalnya saya merasa kok rasanya aneh ya dapet uang jajan dari suami… Tapi sebenarnya ini masalah pembagian peran aja kok… Walaupun tetep yah saya gatel. Hihi. Sempat juga mau melamar pekerjaan tetap di perkebunan, tapi kemudian saya menampar diri sendiri “dulu yang mau jadi IRT siapa woooy??!”. Akhirnya sekarang saya berjualan makanan, dan insya Allah pingin diteruskan sesampainya di Jakarta nanti, jadi sambil latihan lah… Di sini sih yang namanya mengerjakan “blue collar job” nggak masalah dan sudah jamak dilakukan. Pingin juga dong ah buat nambah modal usaha, tapi yang jelas nggak mengganggu waktu suami dan anak-anak. Yang saya ingat selalu adalah kami di sini karena suami kuliah, maka kuliahnya adalah prioritas utama. Tugas kami semua ya mendukung supaya itu bisa terselesaikan dengan baik.

Sejauh ini sih itu aja yang saya rasakan (Aja?? Banyak gitu woy!! Hehe). Setelah merasakan sebagai Ibu Bekerja dan IRT, nggak sedikitpun saya sesali keputusan ini. Nanti nggak tau sih… hahaha. Tapi bukankah semua hal pasti punya sisi menyenangkan dan tidak? Waktu saya saat ini bersama anak-anak saya syukuri banget. Apalagi kalau ingat sore-sore becanda guling-gulingan di kasur sama Ihya dan Sulha. Mendengar tawa renyah mereka berdua. Saya yakin banyaaaaak banget Ibu Bekerja yang amat sangat menginginkannya dan iri berat sama saya :)
.
Nah… dulu salah satu faktor saya bekerja adalah untuk menambah penghasilan keluarga. Tapi seiring berjalannya waktu saya melihat beberapa pengalaman orang lain bahwa rezeki itu benar-benar kuasa Allah. Hanya DIA yang berhak menghitungnya. Alhamdulillah… walaupun saya nggak bekerja, kami nggak kekurangan suatu apapun, padahal anak bertambah :)

Sekarang fokus saya adalah bagaimana menjalani peran ini sebaik-baiknya. Menjadi manajer rumah tangga yang baik. Guru dan tauladan yang baik bagi anak-anak sampai mereka menjadi mandiri. Istri yang diridhoi suami. Dan tentu saja pengusaha kue yang sukses ya qaqaaaaa *banyak maunya ih…*

Dan kalau ada yang nanya, “nanti pas pulang ke Jakarta ada rencana kerja kantoran lagi nggak?”, jawabnya udah enteng: “nggak”.